Bukan Sembarang Gembel

Begitu pedih negeri tercinta. Rakyat kecil makin terhimpit dengan ekonomi yang makin menyesakkan dada, kalangan elit makin pelit dan heboh dengan duit. Bencana datang silih berganti seperti datangnya musim kemarau dan penghujan yang tak menentu. Gempa, banjir, tsunami, kebakaran hutan dan gunung meletus seperti punya absensi tersendiri untuk terjadi. Mungkinkah ALLAH murka akan tingkah kita? Semua itu tiada yang tau, yang jelas tak perlu mencari-cari kesalahan orang lain, atau malah menyalahkan Sang Pembuat Hidup. Cukup instropeksi diri (merenungi mengapa semua ini terjadi). Yang masih sangat hangat adalah tsunami di Mentawai dan peristiwa meletusnya Gunung Merapi. Gunung api yang terletak di Jawa Tengah dan Yogyakarta Indonesia (lebih tepatnya Klaten, Boyolali, Magelang dan Sleman) itu masih sangat aktif. Merapi terletak pada koordinat 7°32'30" LS110°26'30" BT. Sampai di ketinggian 1700 m masih terdapat desa-desa. Bagi pemerintah daerah, Gunung Merapi adalah objek wisata yang sangat potensial. Kini Merapi termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Akan tetapi semua kegiatan di Merapi sedikit berkurang setelah sejak 20 September 2010 lalu Status Gunung Merapi dinaikkan dari Normal menjadi Waspada oleh BPPTK Yogyakarta. 21 Oktober 2010, Status Merapi naik lagi menjadi Siaga dan pada 25 Oktober 2010, BPPTK Yogyakarta menungkatkan kembali status Merapi dari Siaga menjadi Awas. Puncaknya pada tanggal 26 Oktober 2010, Gunung dengan ketinggian 2.968 m (9.737 kaki) itu memasuki tahap erupsi. Menurut laporan BPPTKA, letusan terjadi sekitar pukul 17.02 WIB. Sedikitnya terjadi tiga kali letusan diiringi keluarnya awan panas (wedus gembel) serta menyemburkan material vulkanik setinggi 1,5 meter yang mengarah ke Kaliadem, Kepuharjo.

Wedus gembel atau awan panas itu telah banyak meminta korban. Manusia, hewan ternak dan tak luput tanaman-tanaman yang hidup dan tumbuh disana. Bahkan sang juru kunci (kuncen) pun ikut termasuk dalam salah satu daftar korban tersebut. Sosok Mbah Maridjan yang familiar kini telah tiada untuk selamanya. Mbah Maridjan sang kuncen merapi ditemukan dalam keadaan meninggal di kediamannya (Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta) dalam keadaan sujud di atas sajadah. Subhanallah.....
Mas Penewu Suraksohargo (Mbah Maridjan) dikebumikan di Pemakaman Umum Srunen, Glagahrejo, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa. Ribuan pelayat dari berbagai kalangan mengiringi pemakaman pria yang setia melaksanakan tugasnya selama hampir 28 tahun.

Menelisik lebih jauh akan sosok sang kuncen Merapi. Kakek kelahiran 1927 itu tetap bersikukuh tak meninggalkan merapi satu langkah pun. Dia mendapatkan gelar Mas Penewu Suraksohargo atau Penjaga Gunung Merapi dari Keraton Ngayogyakarta. Dia menjadi juru kunci Merapi (kuncen) sejak tahun 1983.Tidak semua juru kunci setenar Mbah Maridjan. Peristiwa meletusnya Merapi pada 2006 membuat namanya tak asing lagi bagi rakyat Indonesia. Mbah Maridjan kukuh tidak turun gunung karena yakin letusan awan panas 'wedhus gembel' Merapi tidak akan menyambarnya. Dengan keberanian dan perkiraan yang tepat itu, Mbah Maridjan terkenal. Bahkan dia menjadi bintang iklan minuman berenergi yang selanjutnya membuatnya banyak dikenal orang. Tapi pada akhirnya dia juga meninggalkan dunia ini karena terjangan wedhus gembel.

Berikut kutipan tentang mbah Maridjan dari Kompas.com :

Mbah Maridjan bersujud kepada Yang Maha Pencipta ketika menemui ajal pada Rabu (27/10) seraya berserah diri dan berbekal penuh satu energi dari tirakatan Jawa.
Dia membungkuk dengan tangan, lutut, dan kepala menyentuh tanah sebagai simbol bahwa raga hendak kembali kepada bumi.Tersapu oleh suhu panas membara dari energi ajaran Jawa, "Aja sira lunga, yen tan weruh ingkang pinaran. Aja sira nganggo, yen tan weruh ingkang dienggo!" (Jangan kamu pergi, jika kamu tak tahu mana tujuanmu. Jangan kamu menyandang, jika kamu tak tahu apa yang kamu sandang!), Mas Penewu Suraksohargo ingin "kembali".


Lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, pada tahun 1927, Mbah Maridjan bersujud dengan raga dan pikirn takzim di hadapan misteri tak berhingga. Ia merebahkan diri sampai seluruh tubuh dan hati menyentuh tanah. "Aku ini abu dan akan kembali menjadi abu".
Abu melambangkan awal dan akhir kehidupan. Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, sarat abu memutih dengan pemandangan daratan luluh lantak diterjang awan panas dari erupsi Gunung Merapi.Surat-surat kabar pun menulis dengan menggunakan tinta hitam "Indonesia Bersedih" (Harian Kompas), dan "Memilukan...(Media Indonesia). Dan, sebuah stasiun televisi nasional mengajak berdoa kepada seluruh warga Indonesia (Pray for Indonesia).Puing rumah terhampar dan bangkai hewan terdampar di Dusun Kinahrejo. Suhu awan panas terpapar mencapai 600-1.000 derajat celsius  meluncur dari kawah Merapi dengan kecepatan 60 kilometer per jam menyapu dusun dan menewaskan sejumlah orang, termasuk Mbah Maridjan.


Insan bersama flora dan fauna dalam vitalitas Merapi seakan mewartakan bahwa Bumi ini sungguh misteri yang menggetarkan dan menggelorakan. Terjadi semburan abu vulkanik dan kerikil saling menyusul dalam erupsi eksplosif Gunung Merapi, Selasa (26/10) pukul 18.10.
"Erupsi kali ini lebih besar dari tiga erupsi sebelumnya," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono. Semburan abu vulkanik dan kerikil merupakan ciri erupsi eksplosif gunung berapi.
Fenomen Merapi ini menggenapi kredo bahwa waktu itu maju dan memuncak. Waktu tidak dapat kembali (irreversible). Merapi yang bergelora, merapi yang digdaya meski kini meminta korban puluhan jiwa seakan menyeret kontemplasi manusia bahwa zaman sudah sampai pada usianya yang tua (zaman wis teka titi wanci tuwa). Manusia terus diburu waktu untuk bersegera memohon jawaban yang serba pasti (maneges).


Sementara, Mbah Maridjan dengan kredonya merespons seluruh alam ciptaan dengan menerima segala kemalangan bahkan kematian tanpa menyalahkan siapa pun, termasuk Tuhan. Manusia tidak layak mengutuk atau mengeluh, karena manusia sejatinya berasal dari abu dan akan kembali menjadi abu. Budayawan Sindhunata menulis dalam buku Petruk Jadi Raja, bahwa Gunung Merapi bisa memuntahkan api yang menghanguskan dan mematikan manusia. Namun, Gunung Merapi memberi hidup dan rejeki berupa pasir dan tanah subur. Dalam air dan api, ada berkah sekaligus malapetaka. Kalau manusia mau menerima rejeki yang diberikan oleh air dan api, ia dituntut sanggup hidup dalam resiko karena air dan api. Menolak hidup dalam resiko membuat manusia menjadi pemarah, pengeluh, pengutuk dan tak mau bertanggung jawab. Inilah kredo Mbah Maridjan.


Ketika merespons tentang bencana banjir dan longsor di mana-mana akibat ulah manusia, ia mengatakan, ”Meski diberi sebanyak apa pun, manusia akan merasa kekurangan karena kekurangan itulah kebutuhan manusia”. Ia menulis dalam jejaring sosial facebook, "Mbah masih merasa kerasan tinggal di Dusun Kinahrejo Cangkringan Sleman Yogyakarta, sambil berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Bagi yg sudah diminta pemerentah untuk mengungsi, mbok ya patuh ya... Mohon dengan sanget."


Saat Gunung Merapi berubah status menjadi awas pada 25 Oktober 2010, Mbah Maridjan pun menolak mengungsi. “Lha saya di sini (di rumah) kerasan. Nanti kalau ada tamu ke sini malah kecele kalau saya pergi,” kata Mbah Maridjan saat ditemui di kediamannya. Ia memegang teguh tanggungjawab sebagai juru kunci dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi. Mbah mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970. Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak tahun 1982.


Ketika Gunung Merapi meletus pada 2006, imbauan pemerintah daerah dan bujukan aparat keamanan agar Mbah Maridjan turun mengungsi tak dihiraukan. Bahkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X telah mengatakan agar perintah pemerintah dipatuhi. "Biarpun saya jadi Sultan, saya tunduk kepada keputusan pemerintah," kata Sultan saat Merapi meletus pada April 2006, sebagaimana dikutip dari laman Tempo.Com. Dan Mbah Maridjan menyatakan, "Setiap orang punya tugas sendiri-sendiri. Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini". Imbauan yang meneguhkan setiap pengungsi agar mau bertanggungjawab atas hidupnya diutarakan oleh Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta Brigjen Polisi Ondang Sutarsa Budhi. "Pokoknya kalau diminta turun ya turun sajalah, kondisi darurat dan mendesak, tidak usah memikirkan harta benda ataupun hewan ternak. Yang penting warga itu mematuhi perintah pasti aman," katanya.


Dalam hening bening, dalam mosaik tanggungjawab kepada hidup, Mbah Maridjan bersujud sebagai isyarat hendak berkomunikasi antara raga dan pikiran.
Intipati kredo Mbah Maridjan, "Berhentilah sejenak. Mampirlah minum. Dan rebahkanlah egomu."

"Wedus Gembel Memang Bukan Sembarang Gembel"